Arsip"Saya Benci Gereja (dan Pastor) Tapi Saya Mencintai Yesus”

“Saya Benci Gereja (dan Pastor) Tapi Saya Mencintai Yesus”

Selasa 2014-08-12 20:11:30

“Persoalan masuk surga atau neraka adalah pilihan setiap orang dan urusan pribadi setiap orang di muka bumi ini. Setiap orang berhak menentukan pilihannya, apakah ia mau masuk surga atau neraka seperti yang umat kr

Oleh: Arnold Belau

 

Hari ini adalah hari minggu. Harusnya, saya pergi ke gereja. Karena hari minggu adalah hari yang disediakan oleh Sang Ilahi, untuk berisitarahat dan mengucap syukur, tanpa melakukan pekerjaan apapun. Itulah yang orang Kristen percaya.

 

Barangkali, ini sebuah tradisi yang telah diwariskan turun temurun, sejak ditetapkannya hari ke tujuh dalam seminggu, sebagai hari minggu atau hari Tuhan. Dalam tradisi Kristen, setiap umat Kristen harus beribadah pada hari minggu. Dan satu lagi yaitu pada hari minggu itu harus istirahat, tidak boleh ada aktifitas.

 

Faktanya, seringkali setelah ibadat, bukannya istirahat tanpa melakukan aktifitas, tetapi pasti melakukan pekerjaan. Pekerjaan apa? Ya… paling tidak ber-rekreasi bersama keluarga. Menghilangkan stress. Padahal, sudah tahu. Hari minggu tidak diperkenankan untuk melakukan pekerjaan. Karena hari minggu adalah hari untuk istirahat full.

 

Menurut saya, hal ini sepeleh, tapi pelanggaran sesungguhnya sudah dilakukan sebelum memulai, yaitu dengan melakukan pekerjaan. Pada hal, hari minggu adalah hari untuk istriahat.

 

Mungkin, judul tulisan ini agak aneh dan bisa bikin orang yang baca tulisan bertanya, kenapa? Ya, tentu alasan.

 

Hari minggu ini, saya tidak pergi ke gereja. Saya lebih memilih tinggal di rumah. Karena, untuk bicara dengan Yang Ilahi, tidak harus di gereja. Ia bisa dilakukan dimana-mana, jika ke gereja hanya untuk berinteraksi dengan Tuhan, kenapa tidak berinterkasi dengan-Nya dari rumah atau entah dimana saja.

Lantas, ada yang bilang, harus ke gereja karena di gereja kita bisa mengaku dosa dan menerima tubuh dan darah kristus (atau hosti – dalam tradisi agama Katholik Roma).

 

Untuk saya, yang terpenting bukan mengaku dosa setiap hari, menerima hosti setiap hari minggu tetapi yang paling utama dan teruatama, ialah menghayati dan mengamalkan teladan-teladan Yesus.

 

Ya, alasan utama saya tidak mau ke gereja, ialah pertama: saya tidak mau dengar khotbah-khotbah dari para pastor yang berdiri “Tanpa Malu” di mimbar yang mewah-mewah dengan terus dan terus mengulangi khotbah-khotbah “basi”.

 

Sejatinya, gereja adalah tempat berkumpulnya orang-orang percaya pada Yesus dan siap untuk melaksanakan teladan-teladannya dalam pekerjaan maupun tingkah laku, bukan hanya “Baku Tipu” dengan ayat-ayat yang tertulis dalam alkitab. Dengan mengumpamakan contoh-contoh yang ada di angannya. Tetapi, harusnya mencotohkan perbuatan sehari-harinya dalam khotbah, agar para umat, yang mengimani Yesus pun ikut teladan pastor atau imam.

 

Lalu, bagaiman saya mau terapkannya dalam hidup, sementara pastor saja kasi contoh yang tak pernah ia buat. Ini bukan zaman dongeng. Ini adalah abad ke-21. Hidup ini harus realistis. Bagaimana mau contohkan sesuatu yang tidak pernah ia lakukan untuk orang lain lakukan, tentu ini lucu bukan? Kalau pastor saja tidak pernah lakukan yang ia contohkan, lalu umat mau lakukan bagaimana?

 

Dalam alkitab, ada satu ayat yang bunyinya begini “Sebelum anda menyuruh orang buang balok dimatanya, buanglah lebih dahulu balok yang ada di matamu” kasarnya begitu. Menurut saya, ayat ini, harus benar-benar dipahami oleh para pastor. Supaya tidak salah menafsirkan ayat-ayat dalam Injil maupun Alkitab.

 

Kalau ada yang bilang, dahulu Yesus, ketika mengajar selalu dengan contoh-contoh supaya pahami maksud ayat dan pesan-pesan yang disampaikannya cepat sampai dan dimengerti dengan cepat. Ya, itu benar. tetapi, Yesus, dalam memberikan perumpamaan, ia selalu realistis. Bahkan khotbah pun di tempat-tempat yang tidak terhormat. Bukan di tempat-tempat mewah. Yesus, mengajar selalu dengan perumpamaan itu di dua ribu tahun lalu, waktu masih mewartakan kabar keselamatan dari Yang Ilahi.

 

Dan sekarang bukan zaman mewartakan kabar gembira lagi. Tetapi sekarang adalah zaman untuk melakukan atau praktikkan langsung, perintah-perintah dan teladan, yang pernah diwariskan oleh Yesus itu . Sekali lagi, sekarang bukan zaman mewartakan kabar gembira lagi. Tetapi sekarang adalah zaman untuk melakukan atau praktikkan langsung, perintah-perintah dan teladan, yang pernah diwariskan oleh Yesus.

 

Semua umat di seluruh penjuru bumi, sudah tahu akan kabar keselamatan. Bahkan sebelum gereja ada, para nenek moyang sudah tahu akan hal keselamatan itu. Yaitu, dengan mensyukuri besarnya kasih dan sayang sang Ilahi yang diberikan melalui segala ciptaan-Nya. Dalam setiap agama tradisional, sudah ada kabar keselamatan. Walaupun gaya dan bentuk kepercayaan berbeda wujud dan rupa. Namun, pada dasarnya, mereka sadar bahwa apa yang mereka lakukan hari ini, akan mendapat pahala dikemudian hari.

 

Nah, kabar keselamatan yang diwartakan Yesus itu adalah yang modern. Dan jika ajaran-ajaran Yesus, disesuikan dengan ajaran agama-agama tradisional, tentu ada kesamaannya. Malahan lebih banyak. Jadi, saat kabar keselamatan itu diwartakan, para pemeluk agama tradisional tidak kaget, karena ajaran serupa sudah menjadi warisan. Mereka hanya menyesuaikannya.

 

Bahwa, apapun yang dilakukan dengan niat baik di dunia ini, pasti akan mendapat pahala yang baik di kemudian hari, bahkan kebaikan yang kita perbuat akan kekal dan abadi selamanya.

 

Saya lihat, pastor-pastor di Papua, rata-rata pastor-pastor yang “Penakut dan Tidak siap”. Kenapa panakut? Karena pastor-astor di Papua, tidak pernah bicara membela umatnya, ketika umatnya menjerit minta tolong. Justru disaat umat butuhkan suara seorang pastor, pastor-pastor ini cenderung sembunyi, diam dan meratapi jeritan umatnya.

 

Dan kenapa tidak siap? Karena, seorang imam katholik, harus siap mati dan rela berkorban untuk membela kebenaran dan menentang ketidakadilan yang yang dihadapi oleh umatnya. Suka tidak suka, mau tidak mau, seorang pastor harus siap untuk membela kebenaran.

 

Itu alasan mengapa saya katakan, para pastor di Papua “Panakut dan Tidak Siap”. Menurut saya, di Papua mungkin hanya Pastor Jhon Jonga dan Pastor Neles Tebay. Baik uskup maupun pastor-pastornya, selalu tunduk sama penguasa. Dan mengabaikan suara kegembalaan. Itu yang saya lihat.

 

Tetapi, jika berbicara “Gembala Umat,” di Papua, hanya ada Pdt.Socratez Yoman, Pdt. Benny Giyai, Pator Neles Tebay dan pater Jhon Jonga yang ada. Merekalah gembala umat yang sesungguhnya.

 

Lantas, pastor-pastor yang tersebar di lima keuskupan yang ada di tanah Papua ini bikin apa? Harusnya, para pastor ini harus lebih berani. Karena, ketika terjadi hal-hal tak diduga, mungkin, yang bicara tidak hanya para pastor di Papua, tetapi juga bahkan bisa sampai ke Vatikan. Sebab, Katolik adalah lembaga agama yang sangat rapi sistemnya.

 

 

***

Gereja, mestinya menjadi tempat untuk umatnya mencari ketenangan, dan setiap umat berhak untuk mendapat ketenangan dan berhak dibela, ketika diperhadapkan dengan masalah yang besar. Faktanya, umat Tuhan selalu mendapat perlakuan-perlakuan tak benar, juga diperlakukan tak adil, tapi mana ada yang pernah bela masyatakat? Faktanya tidak kan. Di saat-saat seperti ini, pastor diam dan membisu meratapi jeritan umat Tuhan di Papua.

 

Sesungguhnya, teladan-teladan Yesus itu diterapkan dalam keadaan seperti ini. Bukan berkoar-koar dengan khotbah-khotbah omong kosong di altar-altar mewah.

 

Dalam injil, ada satu ayat yang bunyinya begini, “Iman tanpa perbuatan adalah sia-sia. Dan sebaliknya perbuatan tanpa iman adalah sia-sia,”. Saya harap, para pastor di tanah Papua ini membaca dan menghayati pesan yang terkandung dalam ayat ini.

 

Hari ini, pastor hanya mengurusi iman, tapi perbuatan nyatanya patut dipertanyakan. Ini yang poinnya Nol besar untuk para pastor. Dan itu saya benci. Sekali lagi, saya benci akan hal ini.

Pastor itu kerjannya bukan khotbah-khotbah saja tanpa memberikan bukti lewat tindakan yang bisa diambil hikmahnya oleh umatnya.

 

Pastor hanya sibuk dengan satu urusan, yaitu urusan iman. Pada hal, jelas-jelas dalam injil mengatakan, kalau hanya jalankan satu saja, itu usaha besar apapun omong kosong dan sia-sia.

 

Martir yang tak diakui, seorang pastor yang pernah meninggal di Timika adalah Pastor Le Cocq, ia adalah pastor juga adalah perintis pendidikan. Le Cocq adalah pastor yang melakukan kegiatan iman dan perbuatan secara bersamaan. Buka seperti pastor-pastor yang ada di Papua hari ini. Mestinya, para pastor tidak perlu bicara yang muluk-muluk soal surga dan neraka.

 

Karena, “persoalan masuk surga atau neraka adalah pilihan setiap orang dan urusan pribadi setiap orang di muka bumi ini”. Tugas gereja adalah menuntun setiap umat ke tempat yang lebih baik.

 

Kalau berfikir secara realistis, yang penting disini adalah bukan bicara soal surga dan neraka, tetapi bicara untuk memperbaiki cara hidup di bumi. Karena, nantinya perbuatan baik itu yang akan menyelamatkan setiap manusia. Karena, orang kristiani percaya, setelah mati ada kehidupan baru lagi. Atau kehidupan abadi. Tetapi, para pastor ini terlalu sibukkan diri dengan urusan surgawi dengan berikan gambaran tentang surga dari hasil kayalannya pada umat. Ini yang payah.

 

Dengan berbagai alasan yang sudah saya kemukakan diatas ini yang membuat saya putuskan untuk tidak pergi ke gereja. Pergi ke gereja, percuma saja. Pergi juga hanya mau dengan khotbah-khotbah omong kosong.

 

Untuk pribadi saya, berdoa bisa dimana saja dan kapan saja. Yang Ilahi itu ada dimana-mana. Gereja yang sesungguhnya bukan ada di gedung gereja. Tetapi ada di hati saya.

 

Slah satu yang penting untuk saya, dari pada saya ke gereja hanya untuk dengar khotbah omong kosong dari si pastor, saya memilih untuk meneladani ajaran Yesus itu dalam hidup saya.

 

Terakhir, saya bangga terlahir dari sebuah keluarga yang taat beragama. Agama katholik Roma. Saya juga berbangga karena, melalui keluarga saya, saya kenal Yesus. Tetapi, saya sama sekali tidak bangga menjadi seorang pemuda yang beragama Katolik dan menjadi bagian dari gereja Katolik.

 

Satu yang pasti adalah sampai kapan pun, gereja saya benci. Tetapi, Yesus adalah guru besar dan saya mencintainya.

“Persoalan masuk surga atau neraka adalah pilihan setiap orang dan urusan pribadi setiap orang di muka bumi ini. Setiap orang berhak menentukan pilihannya, apakah ia mau masuk surga atau neraka seperti yang umat kristiani yakini,”.

 

Tugas gereja adalah menuntun setiap umat ke tempat yang lebih baik. Bukan malah membuat gereja menjadi gereja yang “Tak Bernyawa”. Tapi ia harus di hidupkan.

 

Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Muhammadiyah, Jayapura. Tinggal di Waena, Jayapura. 

Terkini

Populer Minggu Ini:

Ribuan Data Pencaker Diserahkan, Pemprov PBD Pastikan Kuota OAP 80 Persen

0
“Jadi tidak semua Gubernur bisa menjawab semua itu, karena punya otonomi masing-masing. Kabupaten/Kota punya otonomi begitu juga dengan provinsi juga punya otonomi. Saya hanya bertanggung jawab untuk formasi yang ada di provinsi. Maka ini yang harus dibicarakan supaya apa yang disampaikan ini bisa menjadi perhatian kita untuk kita tindaklanjuti. Dan pastinya dalam Rakor Forkopimda kemarin kita juga sudah bicarakan dan sepakat tentang isu penerimaan ASN ini,” ujarnya.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.